Selasa, 20 Maret 2012

FISIK BOLEH KURANG, SEMANGAT TETAP GARANG


 SOSOK

Krekkk, kreeekkk,. Terdengar bunyi pintu di buka dari dalam. Dari kaca pintu terlihat seseorang membuka pintu dengan menggunakan kakinya. Suasana rumah yang bernuansa klasik itu, terlihat lengang. Seorang wanita paruh baya, berdiri di ambang pintu. Perawakannya tinggi, namun di bahunya tampak kosong. Tak ada tangan terjuntai di sana.
Senyum ramahnya mencairkan suasana malam itu.  Nihaya baru saja menyelesaikan shalat Magrib. Masih terlihat sisa-sisa wudhu di wajah ramahnya.
Ruang tamu rumah tua itu terlihat rapi dan bersih. Di dinding terdapat beberapa kerajinan yang di buat oleh Nihaya. Misalnya saja rajutan yang bermotifkan Mesjid Nanggro Aceh Darusalam. Rajutan itu terlihat menawan meski dikerjakan dengan kaki, bukan tangan.
Nihayah Binti Abu Bakar (53) Terlahir di Tanjungpinang pada 2 Juni 1959, memang wanita yang luar biasa. Keterbatasan telah membuatnya kuat. Ia terlahir dengan kondisi tanpa kedua tangannya, namun hal itu tidak membuatnya gentar menghadapi dunia. Ia bahkan bisa meraih prestasi melebihi orang yang berfisik sempurna.
Sempat Menjadi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Riau
          Awalnya orang tua Nihaya tidak mau menyekolahkannya, dengan alasan takut kelak ia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah. Namun Nihaya kecil terus membujuk orang tuanya, “ paling mereka hanya seminggu ngejekin saya, nanti mereka juga capek sendiri” katanya waktu itu. Akhirnya orang tuanya pun menuruti, dia disekolahkan di SD Negeri 8 Tanjungpinang.
Setelah menamatkan SD, orang tuanya kembali melarang Nihaya untuk melanjutkan pendidikan. Menurut mereka waktu itu, sekedar tulis baca saaja sudah cukup, mengingat kondisi Nihaya yang tidak memungkinkan. Akan tetapi Nihaya mendaftarkan diri secara diam-diam ke SMP Negeri 2 Tanjungpinang.
“ Sampai kapan saya harus bergantung kepada orang lain, kalau tak sekolah bagaimana saya bisa mandiri nantinya?” ujar Nihaya menambahkan. Pada 1978, ia menyelesaikan pendidikan di SMP. Nihayah lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA Negri 1 Tanjungpinang, dan lulus pada tahun 1981.
          Dari sana, Nihayah yang haus akan ilmu mencoba peruntungannya di Pekanbaru. Dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ekonomi dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Riau (UNRI).
          Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Pada semester awal kuliahnya di Pekanbaru, Ayahandanya tercinta Abu Bakar di panggil Sang Pemilik Hidup. Beliau meninggal ketika Nihaya baru saja menikmati perannya sebagai mahasiswi, padahal Sang Ayah adalah mata air kehidupan keluarga serta penyanggah utama ekonominya saat itu.
          Setelah kepergian ayahnya, Nihaya sangat terpukul. Ia terpaksa mengubur mimpi indahnya tentang nikmatnya pendidikan. Ia memutuskan untuk kembali ke Tanjungpinang, menemani ibu tercinta.
          “ Ibu saya mulai sakit-sakitan saat itu, saya tak tega meninggalkannya, beliau sangat mengkwatirkan saya sendirian di Pekanbaru dengan kondisi begini. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan kuliah, meski baru jalan semester pertama,” kenangnya malam itu.
          Namun hal itu tidak mengurangi semangat Nihaya untuk hidup mandiri. Dengan bekal ilmu yang di perolehnya di UNRI, dia mencoba bisnis jual beli pakaian dan peralatan rumah tangga secara kredit. Barang itu di belinya di Singapura, dan dijual secara kredit di Tanjungpinang.

Aktris KEPRI Peraih Nominasi Piala Citra
        Pada 1992, Nihaya di ditawarkan untuk bermain film oleh sutradara Galeb Husin. “ Kebetulan saat itu, beliau sedang mengangkat kisah seorang penderita kangker payudara. Untuk memerankan film itu, Abang Galeb  memiliki inisiatif untuk langsung mengusulkan pada produser mengambil perameran asli. Maka ia pun menghubungi saya.”
          Kemudia Galeb merekam aktivitas keseharian Nihaya. Rekaman itu di ke Jakarta, untuk di tunjukan pada produser. Alhasil, produser pun tertarik, kemudian Nihaya dibawa ke Jakarta.
          Nihaya yang tidak memiliki dasar dunia acting, mengaku mengalami sedikit kesulitan. Namun karena sifatnya yang pantang menyerah akhirnya, Nihaya berhasil menjalankan perannya dengan baik. Dan tak sedikit pujian mengalir padanya.
          “ Film pertama itu berjudul Ku Berikan Segalanya. Saya berperan sebagai Anisa,” kenangnya. Di film itu Nihaya beradu peran dengan artis papan atas negeri ini, misalnya Rano Karno, Dedi Mizwar, dan Paramitha Rusadi.
Bagi mereka yang tumbuh pada awal era 1990-an , film ini tentu tidak asing lagi. Digarap oleh sutradara handal Galeb Husin, film ini berhasil mendapat 12 nominasi Piala Citra. Film ini juga di putar dalam festifal flm internasional di Singapura, dan memdapat penghargaan “ The Most Humanistic Film 1992” di Tokyo Jepang.
Setelah sukses membintangi flm “Ku Berikan Segalanya,” Nihaya terus mengibarkan sayapnya di dunia seni peran. Dia kembali membintangi film yang berjudul “Bunda Tersayang”. Film ini diputar secara bersambung di SCTV pada 1996. Setelah itu Nihaya memutuskan untuk pensiun dari dunia acting.


Mendirikan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Al – Hikmah
        Kepedulian Nihaya terhadap pendidikan Al-Quran sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan kiprahnya mendirikan TPA Al – Hikmah di mesjir Raya Al Hikmah Tanjungpinang pada 30 Agustus 2009.
          Awalnya Nihaya merasa prihatin karena tidak adanya TPA di salah satu mesjid besar di Tanjungpinang itu. Apalagi mesjid itu sudah memiliki Taman Kanak-Kanak (TK). “ Sayang jika tidak ada TPA, kan anak-anak juga butuh itu,” terang Nihaya.
          “ Saya ingin anak-anak kita mendapat pendidikan Al – Quran sejak dini. Hal ini bertujuan agar anak-anak memiliki kecintaan terhadap Al- Quran,” ujar Nihaya ketika ditanya alasannya mendirikan TPA Al-Hikmah. Saat ini ada sekitar 121 santri yang belajar di sana.
          “ Dari kecil saya memang bercita-cita jadi guru. Meski tak bisa jadi guru di sekolah, setidaknya saya bisa berbagi ilmu yang bermanfaat dengan orang lain.” Tambah Nihaya lagi.
          Saat ini Nihaya tidak hanya mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran, tapi ia juga memupuk kecintaan anak-anak terhadap kesenian Marawis. “ kalau anak-anak yang main marawis, itu lebih semangat mukulnya. Mereka masih fres, dan bersemangat, jadi ngak ada salahnya kita arahkan” jelasnya.
          Selain         sibuk di TPA, Nihaya juga menyempatkan diri untuk melakukan aktifitas social lainnya. Misalnya ketika musim kurban tiba, Nihaya mengerahkan keluarga besarnya untuk berkurban di perkampungan miskin di sekitar Bintan. Tidak hanya itu, melalui jaringan keluarga besarnya di Singapura ia juga menggalang dana untuk membangun mesjid di perkampungan miskin tersebut.
          Itulah jejak perjalanan hidup yang dilukis Nihaya Binti Abu Bakar. Keterbatasan fisiknya tidak menjadi hambatan untuk maju. Bahkan dari sana kita bisa belajar memanfaatkan hidup dengan baik. Terkadang dalam ketidaksempurnaan manusia mampu melakukan hal-hal yang belum tentu mampu dilakukan orang lain. (Ani_Praktek Jurnalistik)
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar