SOSOK
Krekkk,
kreeekkk,. Terdengar bunyi pintu di buka dari dalam. Dari kaca pintu terlihat
seseorang membuka pintu dengan menggunakan kakinya. Suasana rumah yang
bernuansa klasik itu, terlihat lengang. Seorang wanita paruh baya, berdiri di
ambang pintu. Perawakannya tinggi, namun di bahunya tampak kosong. Tak ada tangan
terjuntai di sana.
Senyum
ramahnya mencairkan suasana malam itu.
Nihaya baru saja menyelesaikan shalat Magrib. Masih terlihat sisa-sisa
wudhu di wajah ramahnya.
Ruang
tamu rumah tua itu terlihat rapi dan bersih. Di dinding terdapat beberapa
kerajinan yang di buat oleh Nihaya. Misalnya saja rajutan yang bermotifkan
Mesjid Nanggro Aceh Darusalam. Rajutan itu terlihat menawan meski dikerjakan
dengan kaki, bukan tangan.
Nihayah
Binti Abu Bakar (53) Terlahir di Tanjungpinang pada 2 Juni 1959, memang wanita
yang luar biasa. Keterbatasan telah membuatnya kuat. Ia terlahir dengan kondisi
tanpa kedua tangannya, namun hal itu tidak membuatnya gentar menghadapi dunia.
Ia bahkan bisa meraih prestasi melebihi orang yang berfisik sempurna.
Sempat Menjadi Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Riau
Awalnya orang tua Nihaya tidak mau
menyekolahkannya, dengan alasan takut kelak ia akan menjadi bahan ejekan
teman-temannya di sekolah. Namun Nihaya kecil terus membujuk orang tuanya, “
paling mereka hanya seminggu ngejekin saya, nanti mereka juga capek sendiri”
katanya waktu itu. Akhirnya orang tuanya pun menuruti, dia disekolahkan di SD
Negeri 8 Tanjungpinang.
Setelah
menamatkan SD, orang tuanya kembali melarang Nihaya untuk melanjutkan
pendidikan. Menurut mereka waktu itu, sekedar tulis baca saaja sudah cukup,
mengingat kondisi Nihaya yang tidak memungkinkan. Akan tetapi Nihaya
mendaftarkan diri secara diam-diam ke SMP Negeri 2 Tanjungpinang.
“
Sampai kapan saya harus bergantung kepada orang lain, kalau tak sekolah
bagaimana saya bisa mandiri nantinya?” ujar Nihaya menambahkan. Pada 1978, ia
menyelesaikan pendidikan di SMP. Nihayah lalu melanjutkan pendidikannya ke SMA
Negri 1 Tanjungpinang, dan lulus pada tahun 1981.
Dari sana, Nihayah yang haus akan ilmu
mencoba peruntungannya di Pekanbaru. Dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas
Ekonomi dengan jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Riau (UNRI).
Malang tak dapat ditolak, mujur tak
dapat diraih. Pada semester awal kuliahnya di Pekanbaru, Ayahandanya tercinta
Abu Bakar di panggil Sang Pemilik Hidup. Beliau meninggal ketika Nihaya baru
saja menikmati perannya sebagai mahasiswi, padahal Sang Ayah adalah mata air
kehidupan keluarga serta penyanggah utama ekonominya saat itu.
Setelah kepergian ayahnya, Nihaya
sangat terpukul. Ia terpaksa mengubur mimpi indahnya tentang nikmatnya
pendidikan. Ia memutuskan untuk kembali ke Tanjungpinang, menemani ibu tercinta.
“ Ibu saya mulai sakit-sakitan saat
itu, saya tak tega meninggalkannya, beliau sangat mengkwatirkan saya sendirian
di Pekanbaru dengan kondisi begini. Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan
kuliah, meski baru jalan semester pertama,” kenangnya malam itu.
Namun hal itu tidak mengurangi
semangat Nihaya untuk hidup mandiri. Dengan bekal ilmu yang di perolehnya di
UNRI, dia mencoba bisnis jual beli pakaian dan peralatan rumah tangga secara
kredit. Barang itu di belinya di Singapura, dan dijual secara kredit di
Tanjungpinang.
Aktris KEPRI Peraih Nominasi Piala Citra
Pada
1992, Nihaya di ditawarkan untuk bermain film oleh sutradara Galeb Husin. “
Kebetulan saat itu, beliau sedang mengangkat kisah seorang penderita kangker
payudara. Untuk memerankan film itu, Abang Galeb memiliki inisiatif untuk langsung mengusulkan
pada produser mengambil perameran asli. Maka ia pun menghubungi saya.”
Kemudia Galeb merekam aktivitas
keseharian Nihaya. Rekaman itu di ke Jakarta, untuk di tunjukan pada produser.
Alhasil, produser pun tertarik, kemudian Nihaya dibawa ke Jakarta.
Nihaya yang tidak memiliki dasar dunia
acting, mengaku mengalami sedikit kesulitan. Namun karena sifatnya yang pantang
menyerah akhirnya, Nihaya berhasil menjalankan perannya dengan baik. Dan tak
sedikit pujian mengalir padanya.
“ Film pertama itu berjudul Ku Berikan Segalanya. Saya berperan
sebagai Anisa,” kenangnya. Di film itu Nihaya beradu peran dengan artis papan
atas negeri ini, misalnya Rano Karno, Dedi Mizwar, dan Paramitha Rusadi.
Bagi
mereka yang tumbuh pada awal era 1990-an , film ini tentu tidak asing lagi.
Digarap oleh sutradara handal Galeb Husin, film ini berhasil mendapat 12
nominasi Piala Citra. Film ini juga di putar dalam festifal flm internasional
di Singapura, dan memdapat penghargaan “ The Most Humanistic Film 1992” di
Tokyo Jepang.
Setelah
sukses membintangi flm “Ku Berikan Segalanya,” Nihaya terus mengibarkan
sayapnya di dunia seni peran. Dia kembali membintangi film yang berjudul “Bunda
Tersayang”. Film ini diputar secara bersambung di SCTV pada 1996. Setelah itu
Nihaya memutuskan untuk pensiun dari dunia acting.
Mendirikan Taman Pendidikan Al-Quran
(TPA) Al – Hikmah
Kepedulian
Nihaya terhadap pendidikan Al-Quran sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan
kiprahnya mendirikan TPA Al – Hikmah di mesjir Raya Al Hikmah Tanjungpinang
pada 30 Agustus 2009.
Awalnya Nihaya merasa prihatin karena
tidak adanya TPA di salah satu mesjid besar di Tanjungpinang itu. Apalagi
mesjid itu sudah memiliki Taman Kanak-Kanak (TK). “ Sayang jika tidak ada TPA,
kan anak-anak juga butuh itu,” terang Nihaya.
“ Saya ingin anak-anak kita mendapat
pendidikan Al – Quran sejak dini. Hal ini bertujuan agar anak-anak memiliki
kecintaan terhadap Al- Quran,” ujar Nihaya ketika ditanya alasannya mendirikan
TPA Al-Hikmah. Saat ini ada sekitar 121 santri yang belajar di sana.
“ Dari kecil saya memang bercita-cita
jadi guru. Meski tak bisa jadi guru di sekolah, setidaknya saya bisa berbagi
ilmu yang bermanfaat dengan orang lain.” Tambah Nihaya lagi.
Saat ini Nihaya tidak hanya
mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran, tapi ia juga memupuk kecintaan
anak-anak terhadap kesenian Marawis. “ kalau anak-anak yang main marawis, itu
lebih semangat mukulnya. Mereka masih fres, dan bersemangat, jadi ngak ada
salahnya kita arahkan” jelasnya.
Selain sibuk di TPA, Nihaya juga menyempatkan diri untuk melakukan
aktifitas social lainnya. Misalnya ketika musim kurban tiba, Nihaya mengerahkan
keluarga besarnya untuk berkurban di perkampungan miskin di sekitar Bintan.
Tidak hanya itu, melalui jaringan keluarga besarnya di Singapura ia juga
menggalang dana untuk membangun mesjid di perkampungan miskin tersebut.
Itulah jejak perjalanan hidup yang
dilukis Nihaya Binti Abu Bakar. Keterbatasan fisiknya tidak menjadi hambatan
untuk maju. Bahkan dari sana kita bisa belajar memanfaatkan hidup dengan baik.
Terkadang dalam ketidaksempurnaan manusia mampu melakukan hal-hal yang belum
tentu mampu dilakukan orang lain. (Ani_Praktek Jurnalistik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar